REVIEW BUKU JIWO J#NCUK

Puncak kangen paling dahsyat ketika dua orang tak saling menelepon
tak saling sms
BBM-an
dan lain lain tak saling
namun diam diam keduanya saling mendoakan.

Bicara tentang cinta selalu tak berkesudahan. Kali ini Sujiwo tejo, budayawan yang dikenal dengan gaya nyentrik, akan berbagi rasa tentang cinta dan bermacam hal yang dekat dengan kesehariaanya lewat kata-kata. Berbicara tentang perempuan, kebudayaan, kemacetan kota, hingga filosofi sederhana kehidupan.

=====================================================================




Itulah beberapa kalimat yang terdapat dalam bukunya Mbah Tedjo (panggilan akrab Sudjiwo Tedjo) sang Presiden Jancukers.

Jiwo J#ancuk mengemas pemikiran-pemikiran dan ungkapan rasa Sujiwo Tejo dalam berbagai bentuk, mulai dari prosa, puisi, hingga kumpulan kicauannya didunia virtual dengan akun@sujiwotedjo. Hasil observasinya terhadap detail kehidupan disampaikan dengan bahasa yang santai, namun tetap sarat nilai dan kerap “menyentil”.

Buku yang berisi kisah cinta,  budaya, filosofi dan tentunya religi ini menurut saya merupakan hasil dari pengalaman dan perenungan sang penulis sendiri. Kisah cintanya ketika menjadi penyiar radio sekaligus mahasiswa di salah satu perguruan tinggi ternama di Bandung merupakan alasan kenapa saya bilang kalau buku tersebut merupakan orisinalitas dari kejadian yang dialami sang penulis.

Tapi saya tidak akan membahas perihal cintanya sang Presiden Jancukers tersebut. Yang akan saya bicarakan kali ini adalah tentang pola pikir sang penulis buku ini. 

Pemikirannya laksana bola liar. Loncat ke sana kemari, tapi selalu memberi ruang bagi para pembaca untuk ikut tenggelam dalam kata. Bahwa sejatinya kehidupan itu adalah terus bertanya di tiap kejadian, bahkan lewat tulisan yang tersampaikan.

Sudjiwo Tedjo merupakan satu dari sedikit manusia Indonesia yang mempunyai pola pemikiran anti mainstream. Berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

Pola pikir anti mainstream tersebut menurut saya merupakan bentuk perlawanan dari penulis atas berbagai pemikiran manusia Indonesia yang sadar atau tidak sadar merupakan hasil dari penjajahan yang berupa pendidikan.

Lihatlah bagaimana ia bermajas mengenai pelajaran IPS dan IPA. “Jika pelajaran IPA dipandang lebih penting dari pelajaran ilmu-ilmu sosial, lalu mengapa para penjajah yang datang hanya dengan beberapa kapal itu mampu menguasai nusantara selama berabad-abad.”

Saya yakin seyakin-yakinnya kalau kebanyakan dari kita ketika akan menilai kepintaran seseorang pastilah dari kecakapan ilmu eksaknya. Matematika mungkin, fisika mungkin, kimia mungkin atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hitung menghitung lainya, bukan ilmu sosial macam antropologi misalnya.

Kalau ada anak SMA yang mengambil jurusan IPS, hampir dipastikan penilaian kita atas anak itu adalah anak yang tidak cerdas. Dan sebaliknya pada anak-anak kita yang masih belajar di SMA pun sudah terkontaminasi pemikiran yang demikian. Anak yang merasa dirinya pintar akan lebih memilih jurusan IPA daripada jurusan IPS,apalagi bahasa.

Entah siapa yang memulai penilaian-penilaian model seperti ini. Yang jelas, pola pikir seperti itu sudah mendarah daging pada masyarakat kita. Kecerdasan hanya diukur dari angka-angka belaka. Menyedihkan.

Dan Sudjiwo Tedjo hadir menggebrak pola pikir seperti itu melalui tulisanya. Jarang ada penulis yang idealis seperti mbah Tedjo 🙂

Apa dia ndak takut ya kalau-kalau karyanya tidak bisa diterima di masyarakat yang logikanya sudah sangat terbalik dengan logika dia?

Tidak semua masyarakat memang. Tapi hampir secara umum ya masyakat kita pola pikirnya seperti itu ketika merumuskan kecerdasan seseorang 🙂

Kita tinggalkan mengenai pola pikir manusia Indonesia pada umumnya ketika menilai kecerdasan seseorang. Di sisi religiusitas, sang penulis lagu “Sajadah Panjang” yang dinyanyikan oleh Bimbo tak luput dari “semprotan” Mbah Tedjo.

Sebelum kita lanjutkan mengenai kisah “semprotan” tersebut, marilah kita baca larik demi larik dari lirik lagu Sajadah Panjang tersebut.

Ada sajadah panjang terbentang

dari kaki buaian

sampai ke tepi kuburan hamba

kuburan hamba bila mati

ada sajadah panjang terbentang

hamba tunduk dan sujud

di atas sajadah yang panjang ini

diselingi sekedar interupsi

Mencari rezeki mencari ilmu

mengukur jalanan seharian

begitu terdengar suara adzan

kembali tersungkur hamba

ada sajadah panjang terbentang

hamba tunduk dan rukuk

hamba sujud tak lepas kening hamba

mengingat Dikau sepenuhnya

Nah, pada bagian inilah sang Presiden Jancukers tersebut akhirnya mengkritik sang penyair yang menulis lagu tersebut.


“diselingi sekedar interupsi”

Mari kita baca lagi larik demi larik syair lagu di atas!

Saya tidak tahu ada berapa orang lagi yang mengkritik perihal kalimat tersebut. Yang jelas, setahu saya baru ada Sudjiwo Tedjo yang blak-blakan menulis kritikannya di buku Jiwo J#ncuk miliknya.

Lantas, apa yang mengusik ketenangan hatinya sehingga ia mengkritik salah satu lirik yang telah disebutkan di atas?

Menurutnya, kata-kata sekedar interupsi tidak cocok bahkan sudah diluar jalur dari maksud yang terkandung pada syair lagu tersebut. Masa beribadah hanyalah sekedar interupsi? Mari kita simak lagi syair sebelum tulisan interupsi pada lagu tersebut.

Ada sajadah panjang terbentang
dari kaki buaian
sampai ke tepi kuburan hamba
kuburan hamba bila mati
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
di atas sajadah yang panjang ini
diselingi sekedar interupsi

Pantas saja masih banyak orang yang katanya sembahyang masih saja doyan korupsi. Lha wong ibadahnya hanya sekedar interupsi kok. Hehehe…

Dan benar saja. Konon pertemuan antara Sudjiwo Tedjo dan sang penyair terjadi di didepan toilet. Begitu sang penyair keluar dari toilet, ia tertawa-tertawa kecil. Lantas ia bilang ke Mbah Tedjo perihal “lahirnya” kata interupsi di syair lagu tersebut. Sang penyair bercerita kalau pada waktu ia menulis syair tersebut ia kebingungan mencari kata-kata atau kalimat untuk menyambung larik sebelumnya. Lalu munculah kalimat sekedar interupsi tentu saja dengan sedikit keterpaksaan. Ia pun dengan gagah berani menyampaikan hal tersebut kepada Sudjiwo Tedjo. Hehehe…

Begitulah sekelumit cerita perihal pola pikir Sudjiwo Tedjo. Dalam dan terkesan menggurui sih menurut saya. Hahahaha….

BTW, makasih mbah, sudah mencerahkan otak-otakku yang ternyata kosong dalam beberapa dekade ini. Mbuehehehe.

Semoga sukses mbah. Sampeyan memang Jianc#k!


Nb. ditulis sebagai bahan diskusi di kampus.




8 comments found

  1. mang Tejo sujiwo emang sableng plus seniman nyentrik pastinya jika kemudian bikin buku pasti rugi sangat jika tidak beli dan tidak baca, dipastikan orang yang nggak baca pasti masuk kategori bloon….ehh

    ijin follow blog bagusnya mang…udah lama

  2. Saya juga suka resah bang, mengenai anggapan yang bilang bahwa anak IPS < anak IPA. Bahkan banyak juga anggapan bahwa anak IPS itu sebenarnya anak yang tidak keterima masuk IPA. Haha jadi kesannya ilmu sosial itu diremehkan banget.

    Wah nyentrik banget ya Sudjiwo Tedjo ini. Nanti kapan2 mau nyoba baca bukunya ah 🙂

  3. mbah tedjo emang ntaps , ya!

    aku pernah nonton salah satu talkshow yang kebetulan pengisinya beliau. dia bilang ;

    lulus kuliah dan menjadi sarjana itu artinya mereka meneruskan sejarah. tetepi ketika mereka tidak lulus alias kena d.o itu artinya mereka membobol sejarah.

Leave comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *.